Sejarah Kota Natal

By andrewchristianjr - Tuesday, December 24, 2013

NATAL, nama kota kecil daerah terpencil di pesisir pantai barat Sumatera Utara dengan sejarah besar. Dari sinilah agama Islam menyebar ke tanah Mandailing. Sejarah daerah ini cukup panjang, mulai berabad lalu ketika kapal-kapal asing berlabuh di sana mencari hasil bumi.

Daerah kecil ini juga menjadi salah satu inspirasi bagi Dowes Dekker untuk menulis sebuah buku berjudul Max Havelaar yang mengguncangkan pemerintah Hindia Belanda kala itu. Buku yang diterbitkan pertama kali tahun 1860 itu berkisah tentang penderitaan masyarakat pribumi akibat ketidakadilan sistem perdagangan Belanda.

Dowes Dekker yang menggunakan tokoh alias Multatuli dalam romannya itu, pernah menghabiskan waktunya di daerah Natal saat menjadi kontelir Belanda pada tahun 1842 hingga 1843.

Di Natal pulalah, Dekker untuk pertama kalinya berhadap-hadapan langsung dengan penderitaan penduduk pribumi. Bagi Dekker, Natal menjadi pembuka cakrawala dan simpatinya terhadap kaum pribumi dalam perjalanan kariernya sebagai amtenar Belanda.

Pengalaman di Natal, juga menjadi bekalnya saat dia berperkara dengan Bupati Lebak, Banten, yang dinilai menindas kaum pribumi walaupun dalam versi sejumlah peneliti seperti Sartono Kartodirdjo dan Rob Nieuwenhuys, niat Multatuli untuk membela pribumi dalam kasus Lebak diragukan tetapi mereka menilai hal itu adalah persaingan pribadi antara Dekker dan Bupati Lebak untuk mengeksploitasi pribumi.

Dekker akhirnya dipecat sebagai kontelir Belanda di Natal pada bulan Juli 1843 karena tuduhan atas kesembronoannya dalam hal administrasi keuangan. Sebagian kalangan menilai, pemecatan itu terkait dengan surat-suratnya yang tajam kepada atasannya.

Walaupun keberadaan Dekker di Natal tak lama, warga setempat mengingatnya sebagai salah satu pahlawan meski mereka rata-rata tak tahu persis tentang sejarah Dekker ini. Hingga kini, rumah Dowes Dekker di Natal masih berdiri.

Namun, rumah itu sekarang lebih menyerupai kandang ayam. Bangunan itu telah porak-poranda, di dalamnya berisi sampah dan pakaian milik warga sekitar yang dijemur. Lantainya sudah lapuk, dinding dan atapnya sebagian koyak. Dan daun pintunya, entah ke mana. Rumah kayu itu, menunggu waktu rubuh!

Di belakang rumah kayu itu, sebuah sumur tua yang konon pernah dipakai Dekker direnovasi pemerintah setempat. Sebuah pompa menyedot air dalam sumur dan menyimpannya di tandon, persis di atas bibir sumur, sehingga sumber air itu tetap fungsional hingga kini. Entah mengapa, yang diperbaiki pemerintah justru hanya sumur. Sedangkan rumah kayu yang juga bernilai sejarah dibiarkan hancur, kata Maharuddin (38), Guru Sekolah Dasar Negeri (SDN) 1 Natal, yang gedung sekolahnya bersebelahan dengan rumah Multatuli. SDN 1 Natal sendiri adalah bangunan tua yang dibangun Belanda tahun 1911.

Minimnya perhatian terhadap kekayaan situs sejarah di Natal memang sangat terasa. Di Natal kini hanya ada sejumlah bangunan tua sisa kolonialisasi Belanda, seperti bekas-bekas benteng Belanda, bekas Kantor Tata Praja Belanda, dan bekas Kantor Residen Belanda.

Sisa peninggalan yang lebih tua dan jejak-jejak petualang besar dunia yang dikabarkan pernah singgah di Natal, semisal Marcopolo dan Eugene Dubois, tak bisa ditemui lagi.
Kota penting tiga abad silam

Dahulu, Natal adalah kota pelabuhan penting di muara Batang (Sungai) Natal, tempat berlabuh kapal-kapal besar. Gambaran itu dikisahkan William Marsden yang pernah tinggal di sana beberapa tahun, dalam bukunya The History of Sumatera yang terbit di London tahun 1788.

Marsden bertutur, Natal adalah basis yang nyaman untuk berdagang dengan Aceh, Riau, dan Minangkabau. Semua itu membuat Natal jadi kota yang padat dan makmur. Daerah ini juga memiliki emas yang sangat baik-hingga kini, sejumlah penambang emas tradisional masih bisa ditemui di Batang (Sungai) Natal maupun di kawasan hutan sekitar Natal.

Kini Natal hanya dilabuhi perahu-perahu tradisional kecil. Kota itu lebih mirip desa kecil yang sunyi. Kompas yang baru pertama kali ke Natal, 18 November malam, tak mengira daerah sunyi adalah kota bersejarah tersebut.

Hampir 10 kilometer Kompas melewati Natal tanpa menyadarinya dan baru paham setelah di sebuah desa kecil seorang warga menjelaskan, Kota Natal telah kami lewati. Di sepanjang perjalanan, kembali rasa penasaran tak pernah hilang, bukankah sedari tadi tak melewati keramaian?

Setiba di kota tujuan setelah bertanya sekali lagi pada warga untuk meyakinkan tujuan telah dicapai Kompas betul-betul ada di tempat yang sunyi.

Masih pukul 21.00, tetapi kota itu mirip kota mati. Tak ada kendaraan lalu lalang di jalan. Rumah-rumah warga gelap dan terkunci rapat. Hanya beberapa kios yang buka di dekat pasar. Satu-satunya warung makan yang buka hanya menawarkan nasi goreng dan mi Aceh.

Penginapan hanya dua, yaitu mes pemerintah provinsi dan kabupaten. Listrik juga acapkali padam di Natal. Bahkan, hampir tiap malam. Seperti malam itu, kami menginap di Natal dalam kondisi gelap gulita karena listrik padam. Hingga pagi harinya, ketika kami meninggalkan Natal, listrik masih padam. Menurut seorang petugas mes provinsi, jaringan kabel telepon pun belum menyentuh kota itu.]

Ditemukan saat Natal

Bagi warga Natal, sejarah kampung mereka sendiri sangatlah kabur. Sekelompok warga yang kami temui di kedai kopi di samping lapangan di pusat kota hanya bisa menunjukkan sejumlah bangunan tua sebagai bukti sejarah daerah mereka. Namun, tak satu pun yang bisa menerangkan dengan gamblang mengenai sejarah daerah mereka sendiri.

Sebagian menunjuk rumah Dowes Dekker sebagai bukti sejarah. Namun, warga tak tahu, siapa sesungguhnya Dekker. Mereka hanya tahu, Dekker adalah orang Belanda yang membela pribumi. Peninggalan lain dari masa yang lebih tua, bahkan tak mereka mengerti lagi.

Sejarah nama Natal, juga sangat kabur bagi warganya sendiri, yang mayoritas beragama Islam. Sebagian berpendapat, nama Natal diambil karena kedatangan tentara Portugis ke daerah itu untuk pertama kalinya berbarengan dengan jatuhnya hari raya Natal. Sebagian berpendapat, Natal berasal dari kata Natar, yang berarti tanah atau fondasi.

Sebagian warga kemudian menunjuk Paimudin atau Pak Hitam, warga desa yang bisa menerangkan sejarah Natal. Namun, saat kami ke rumahnya yang berada di tepi pantai, Pak Hitam yang usianya 80-an tahun itu tergeletak lemah dan tak bisa berkomunikasi lagi karena didera berbagai penyakit.

Sejarah nama Natal memang kontroversial sejak lama. Inggris mengklaim menemukan Natal pada tahun 1762. Sedangkan Potugis mengklaim bahwa merekalah yang memberikan nama pada daerah itu, ketika kedatangan mereka di sana untuk pertama kalinya, sekitar tahun 1492-1498 bersamaan dengan hari raya Natal.

Yang jelas, pada abad ke-8 di daerah sekitar Natal telah berdiri Kerajaan Rana Nata dengan salah satu rajanya bernama Rajo Putieh atau biasa dipanggil Ranah Nata. Disebut-sebut, dia adalah orang Persia yang menyebarkan agama Islam di sana.

Kini, Natal tak lebih dari kota kecamatan lain di daerah pinggiran Indonesia yang hampir-hampir tak tersentuh roda pembangunan. Sebagian warganya meninggalkan desa, mencari pekerjaan atau pendidikan di luar daerah.

Dan yang tersisa di Natal hanyalah, warga sisa. Yang sukses atau yang berpendidikan enggan menetap di sana. Natal telah berhenti, tak ada dinamika, yang jika terus dibiarkan, pastilah menunggu waktu untuk hilang dari peredaran sejarah. (NAL/YNS)

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar